Misteri Dunia -Tak ada kesempatan untuk beristirahat, sebelum dipenggal, selain menyediakan makanan, tiap saat, ia juga harus siap untuk melayani nafsu binatang para serdadu Jepang.
Walau terjadi sekitar lima tahun yang lalu, tetapi, pertemuanku dengan Maria masih benar-benar membekas dalam ingatanku yang paling dalam. Betapa tidak, peristiwa yang teramat menakutkan, sekaligus menggiriskan itu terjadi tepat di hari ulang tahunku yang kedua puluh. ltulah yang membuat kenapa kenanganku bertemu dengan Maria, si gadis Belanda yang cantik, anggun dan rupawan itu amat membekas di dalam hati.
Seperti biasa, malam itu, aku bertugas malam. Maklum, karena terlahir dari keluarga yang pas-pasan, aku harus bekerja sebagai SATPAM untuk membiayai kuliahku di salah satu perguruan tinggi agama Islam yang tergolong tua dan ternama di kotaku. Tak seperti biasanya, mungkin karena hujan yang tak jua reda sejak sore, membuatku enggan untuk berangkat.
Sebelum aku bisa memutuskan untuk berangkat atau tidak, tiba-tiba, terdengar suara halus ibu yang mengingatkan; “Hendra, kenapa belum berangkat juga?”
Dengan dialek Cirebon yang kental, aku pun menijawab; “Sebentar Bu, Hendra siap-siap dulu.”
Jangan malas, kuliahmu tinggal setahun lagi. Ibu dan bapak hanya bisa berdoa agar apa yang kamu cita-citakan berhasil,” sambung ibu sambil mendekatiku, “jangan sampai putus di tengah jalan. Sayang,” imbuhnya lagi.
Aku mengangguk. Padahal jujur, sebenarnya, dalam hati, kalau boleh dan tidak malu, aku ingin sekali tidur. Entah kenapa, malam itu, aku merasa malas untuk keluar rumah.
Sudah siap?” Tanya ibu lagi, “hati-hati di jalan” tambahnya.
Kembali aku mengangguk sambil mencium tangannya. “Ibu, Hendra berangkat. Salam hormat buat ayah,” ujarku sambil benjalan ke arah motorku.
Ya ... nanti ibu sampaikan. Mungkin ayahmu masih mengaji untuk menunggu waktu Isya,” kata ibu.
Setelah sejenak memanaskan mesin motor, aku pun melambaikan tangan sambil pelan-pelan menarik gas dan motor pun menjauh dan rumah. Gerimis yang tak jua reda membuatku harus esktra hati-hati dalam mengendalikan motor. Maklum, jalan digenangi air.
Lima belas menit kemudian, aku pun sampai di salah satu bangunan megah yang terdapat di ruas Jalur Pantura. Seperti biasa, setelah absen dan melapor kepada Komandan Jaga, kami berkumpul untuk melaksanakan apel sekaligus serah terima tugas dengan rekan-rekan yang berjaga siang dan dilanjutkan dengan penugasan.
Sekali ini, aku, Bakri, Idris, dan Nurdin mendapat tugas di Blok IV yang letaknya di bagian belakang. Menurut beberapa teman, Blok IV tergolong angker. Banyak sudah yang pernah mengalami beragam peristiwa yang berbau mistik, mulai dari melihat kelebat bayangan, sosok keluarga Belanda yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa, sampai mendengar jeritan minta tolong yang menyayat dan berkepanjangan.
Uhh ... malam Jumat KIiwon pas kebagian jaga di Blok Empat,” rutuk Idris dengan dialek Cirebon yang kental sambil berjalan menuju ke tempat penugasan.
Sialnya, gerimis juga tidak mau berhenti,” timpal Bakri.
Sudah, jalankan saja dengan santai tapi waspada,” sahutku.
Enak saja, kalau tahu, kamu pasti tidak bakal mau lagi bertugas di Blok Empat,” potong Nurdin dengan nada sengit.
Sudah ... sudah, jangan diceritakan, besok saja,” kata Bakri dan Nurdin hampir bersamaan sambil berjalan dengan Iangkah yang berat.
Di benakku mulai melingkar-Iingkar beragam pertanyaan tentang keadaan Blok IV, tetapi sayang, walau sudah sampai di Pos Penjagaan, aku takpernah bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan tadi. Sebagai Komandan Jaga, Nurdin langsung membagi tugas sesuai dengan aturan yang dikenal dengan sebutan PROTAP. Dan sepanjang malam itu, aku mendapatkan tugas kontrol sebanyak dua kali; yakni pada pukul 00.00 dan pukul 02.00.
Aku mengangguk sambil merapatkan tangan dan kaki tanda mengerti dan siap untuk menjalankannya. Kami mulai duduk-duduk, sementara ketiga teman berbincang dengan asik, aku menyempatkan diri untuk membaca buku metodologi penelitian aku harus benar-benar menguasai isi dan maksud buku tersebut, agar, tidak repot di dalam penulisan skripsi nanti.
Malam semakin tua, kini, giliranku yang bertugas untuk mengontrol. Setelah meminta izin dari Komandan Jaga, kuayunkän langkah menuju ke bagian belakang bangunan. Entah kenapa, sekali ini, cuping hidungku mencium aroma bunga rampai bercampur bau bangkai yang demikian menyengat. Belum lagi hilang keherananku, mendadak, di depanku tampak ada seorang wanita berkulit putih dan berambut pirang yang mengenakan gaun tempo dulu bergegas menjauh sambil menarik tangan seorang bocah perempuan dan menghilang di gang yang terletak di antara Blok III dan Blok IV.Aku Iangsung mengejar.
Tetapi apa yang terjadi?Alih-alih berhasil menangkap, yang ada adalah kesunyian disertai dengan aroma bunga rampai bercampur bau bangkai yang kian menyengat. Aku langsung tergugu. Sayup-sayup terdengar suara parau seorang wanita; “gij zult begnjpen in de tijd, yang berarti pada saatnya engkau bakal mengerti.”
Dengan gontai dan keringat dingin yang mengucur deras aku berjalan kembali ke Pos Penjagaan. Bagaimana keadaan?” Tanya Nurdin.
Aku tak bisa menjawab kecuali hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Melihat keadaanku,. Bakri Iangsung tanggap, Ia segere mengambit sisa air minumnya dan menyiramkannya ke arah wajahku. Sontak aku pun tersadar. “Uhh hanya itu yang terlontar dan mututku.
Setelah tenang, aku pun menceritakan apa yang kulihat tadi. Semuanya hanya terdiam, tak ada satu pun yang berkomentar. Nurdin dengan cepat memecahkan keheningan; “Ya ... mulai sekarang, tiap pengontrotan dilakukan secara bersama-sama.”
Semuanya mengangguk tanda setuju sambil saling berpandangan satu sama lain. Selanjutnya, sisa malam kami Ialui tanpa ada kejadian yang berarti
Waktu terus berlalu, tanpa terasa, dua hari Iagi,10 November yang merupakan hari kelahiranku bakal datang. Malam itu, udara terasa begitu tipis, pengap dan panas. Walau begitu, entah kenapa, sehabis mendirikan salat lsya, mata ini terasa begitu berat.
Tanpa sadar, aku pun tertidur di atas sajadah yang pasti, ketika tersadar, waktu telah menunjukkan pukul 02.00 --- saat biasanya aku mendirikan salat tahajud. Tetapi kali ini, perasaan dan pikinanku benar-benar tidak karuan karena memikirkan mimpi yang barus aja terjadi. Ya ... ketika tertidur tadi, aku bermimpi berjalan-jalan di salah satu perkampungan tua yang kebanyakan penghuninya adalah orang asing --- ada Belanda, Portugis bahkan Cina.
Mendadak, muncul seorang wanita bertubuh sintal, putih, anggun dan berambut pirang dengan tersenyum manis sambil menganggukkan kepalanya. Aku pun Iangsung membalas anggukan itu. Wanita muda itu Iangsung mendekat dan mengulunrkan tangannya; “Maria.”
Hendra,” balasku sambil tensenyum dan heran merasakan telapak tangannya yang dingin bagaikan es.
Dengän bahasa Indonesia yang patah-patah bercampur dengan bahasa Belanda yang kental, wanita itupun berkata, “Tolonglah kami.”
Maksud Nyonya?” Balasku.Maria pun mengajakku duduk di kursi tunggu yang ada di depan bangunan panjang itu. Setelah beberapa kali menghela napas berat, Maria pun berkata; “Aku, suami dan seorang anak perempuanku adalah salah seorang penghuni di perkampungan.”
Suamiku berkebangsaan Jerman, ia adalah seorang ahli mesin kereta api, sedang aku adalah ibu rumah tangga. Kami hidup dengan tenang dan damai, hingga akhirnya, matapetaka yang menyakitkan dan menakutkan itu datang,” tambahnya.
Aku hanya menatap wajah pias di depanku dengan perasaan iba. “Ketika Jepang mendarat, pada suatu hari, pembantuku datang dan mengatakan bahwa suamiku telah ditembak dan tubuhnya dibiarkan tergolek diselokan. Tak ada seorang pun yang berani menoIongnya. Sebab, siapa yang berani mendekati jasad suamiku, bakal kena hukumam benat.”
Belum lagi selesai cerita dan si pembantu, mendadak, pintu rumah sudah terbuka dengan suara keras, dan beberapa orang bertubuh pendek, sipit dengan garang menyeret aku dan anak perempuanku. Walau telah meronta-ronta, tetapi apa daya tenaga seorang perempuan. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, untuk menghindar dari rasa sakit akibat pukulan dan tendangan mereka, aku dan anakku pun mengikuti Iangkah para serdadu Jepang itu.”
Di tempat ini” tambah Maria sambil menunjuk gedung tua itu, “ternyata telah banyak berkumpul orang-orang Belanda, Portugis dari paruh baya dan lanjut usia. Mungkin, aku salah satu yang termuda. Akibatnya, selain hanus menyediakan makanan untuk mereka, hampir tiap saat, aku harus selalu siap unituk melayani nafsu bejat mereka.”
Setelah tubuhku benan-benar rusak akibat perlakuan mereka, tanpa kenal ampun, mereka langsung memukul kepala Jeanete, anakku, kemudian memenggal kepalaku. Hanya satu permintaanku, pada utang tahunmu nanti, Iakukanlah doa untuk kesempurnaan kami. Apa yang kulakukan selama ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk meminta tolong. Tetapi apa daya, mereka semua ketakutan,” imbuhnya.
Bersediakah engkau menolongku?” Tanya Maria dengan penuh harap. Aku pun mengangguk tanda setuju dan aku pun tersadar.Ketika usai Subuh aku menceritakan mimpi tersebut dengan ayah dan ibu, ayah pun Iangsung menyahut; “Ya ... dulu, di situ memang ada gudang yang dipakai Jepang sebagai markas. Menurut ayah, tidak salah jika kita mengabulkan penmintaannya.”
Ibu pun Iangsung mengiyakan. Dan benar, ulang tahunku sekali ini dilangsungkan dengan suasana khidmat. Semua khusyuk dan tenggelam dalam doa dan harapan semoga Maria dan Jeanete tenang di alam sana.
0 komentar:
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.