Misteri Dunia-El Nino adalah gejala penyimpangan pada suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya. Wuih berat ya bahasanya!
Yang pasti El nino dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun. Biasanya terjadi setiap tiga sampai tujuh tahun, sebelumnya terjadi di tahun 1997, di mana kasus kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian internasional karena asapnya menyebar ke negara-negara tetangga.
Kebakaran hutan memang bukan disebabkan oleh fenomena el-nino secara langsung. Namun kondisi udara kering dan sedikitnya curah hujan telah membuat api menjadi mudah berkobar dan merambat dan juga sulit dikendalikan.
Dan hal itu terulang kembali, September-Oktober 2015 adalah puncak periode el nino yang selanjutnya. Wilayah Sumatera dan Kalimantan telah tertutup asap, bahkan tidak sedikit gunung yang terbakar hampir merata di seluruh Wilayah Indonesia dan memakan sejumlah korban jiwa seperti kasus kebakaran dengan 7 korban jiwa pendaki di Gunung Lawu. Kita doakan bersama agar kondisi kembali pulih dan yang meninggal di terima di sisi-Nya. Aamiin.
Hal ini menjadi peringatan bagi saya pribadi untuk tidak melakukan kegiatan pendakian dahulu sampai kondisi cuaca normal kembali. Tetapi tidak ada salahnya membagikan pengalaman pendakian saya yang terakhir kali di pertengahan tahun ini ke gunung tertinggi di Jawa Barat atau biasa disebut atap Jawa Barat, yaitu Gunung Ciremai.
Gunung Ciremai (3078 MDPL) ada yang menyebut Cerme atau Ceremai) terletak dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Cirebon, Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.
Perlu diketahui, dari semua gunung yang ada di tanah Jawa hanya Gunung Ciremai-lah yang start pendakiannya dimulai dari ketinggian 750 mdpl (berarti sisa perjalanan menuju puncak Ciremai sekitar 2.350 meter garis vertical. Huf!) . Jalur dakinya tidak ada jalan datar, 90 persen berjalur terjal dan sudut kemiringannya antara 70 sampai 80 derajat, sehingga waktu tempuh pendaki sampai di puncak dibutuhkan sekitar 12-16 jam (sesuai dengan keuatan pendaki tersebut) tanpa sumber air yang cukup.
Sebenarnya sudah berkali-kali saya berencana untuk ke gunung ini, tetapi setiap mau naik ada saja cerita-cerita miring dari kerabat terdekat yang memang pendaki. Seperti cerita dari Sendy (teman pendaki) yang bilang sempat papasan sama macan kumbang di sana, atau mitos-mitos tidak boleh buang hajat langsung ke tanah (aduh, saya beser-an banget anaknya), yang buat saya lagi-lagi batal untuk berangkat ke sana.
Pernah nonton “Misteri Gunung Merapi” yang pemerannya “Nini Pelet”? Cerita itu tepat berasal dari Gunung Ciremai. Bahkan prasasti presejarah berupa batu besar berbentuk peti mati berumur sekitar 3.000 tahun sebelum masehi juga ditemukan di kawasan ini. Para ahli peneliti sepakat bila wilayah Kuningan Gunung Ciremai merupakan tempat bermukim manusia tua usia.
Cerita tetaplah cerita, namun takdir dan tekad akhirnya tetap membawa saya untuk mendaki Gunung Ciremai pada waktunya.
Hari ke-tiga Lebaran tahun ini, yang sebenarnya sudah dalam beberapa periode terakhir keluarga saya memutuskan untuk tidak mudik karena mayoritas keluarga sudah ada di Jakarta. Alih-alih menghindari kemacetan arus mudik Lebaran, saya dan ketiga teman saya (dua diantaranya admin @infopendaki dan @backpackerlover) berangkat menuju Ciremai, Kuningan Jawa Barat via Palutungan pada malam hari. Rencana akan tiba di Kuningan mendekati Subuh dan sempat beristirahat sejenak.
Setelah lama menunggu, akhirnya kami naik bus tujuan Kuningan dengan tarif Rp 100.000 dan memulai perjalanan ini. Ya! Saya ini genk Antimo, jadi sesaat setelah naik pastikan untuk meminumnya, karena kebayang bagaimana cara supir antar kota ini membawa kendaraannya, aksi di film Batman waktu kejar-kejaran sama musuh juga lewat!
Tidak disangka di dalam bus kami bertemu 4 orang lain yang akan berangkat dengan tujuan yang sama dan bergabung menjadi satu rombongan dengan kami (salah satunya adalah admin @trackmountain).
Tibalah kami di Kuningan sesuai rencana, yang ternyata kami sempatkan untuk beristirahat sejenak di rumah rekan kami dan bertemu dengan 4 orang lainnya yang akan ikut perjalanan ini (dua diantaranya admin @infociremai dan ex-admin @jelangkung_indo).
Total 12 orang dalam 1 rombongan pendakian bukanlah termasuk rombongan kecil. Terlebih di dalamnya ada 5 admin hits yang paham banget soal pendakian). Saat ini difikiran saya hanya ada dua kemungkinan, mungkin saya akan santai dan aman karena mereka paham betul dengan medannya atau kemungkinan kedua saya akan sangat kelelahan karena harus memacu fisik-mental agar mampu mengimbangi pakar-pakar pendakian itu). Ya maklum saja, saya masih pemula.
Setelah Sholat Subuh, kami melakukan packing ulang dan dengan bismillah kami memulai pendakian melalui Pos Palutungan dengan melakuan pendaftaran dan membayar biaya administratif Rp. 50.000/orang.
Trek di awal perjalanan didominasi dengan trek menanjak dan menyusuri lembah naik turun (gak perlu sambil nyanyi Ninja Hatori waktu bacanya ya). Ini adalah jarak pos terlama dibandingkan pos-pos lainnya, jadi cukup wajar jika merasa agak lelah di awal pendakian.
Beberapa jam pertama menjadi awal dari proses yang sangat penting, dari adaptasi langkah kaki, adaptasi dengan beban berat di pundak, adaptasi bernafas, sampai adaptasi dengan sifat dan karakter teman satu team, terlebih untuk yang baru saja bertemu pada saat itu.
Di pos 1 atau Cigowong dengan lahan yang cukup luas dan datar dengan dikelilingi pepohonan besar inilah satu-satunya sumber air yang memadai di Gunung Ciremai. Makin banyak jumlah orang makin banyak pula jumlah air yang harus di bawa. Minimal 2 botol x 1,5 liter air untuk masing-masing orang. Dan ternyata tidak ada pengecualian untuk pendaki wanita bin lemah letih lesu letoy seperti saya! (melirik pedas team lainnya. Hahaha). Tetapi cukup senang, dengan begitu saya merasa tidak dianggap sebagai pihak yang lemah-lemat banget ataupun beban buat mereka.
Setelah perjalanan 30 menit tibalah kami di Kuta (bukan Kuta Bali atau Lombok ya), dengan trek menanjak dan beban yang semakin berat jadi tetap terasa melelahkan.
Pada pos 2 ini saya sudah mulai merasakan ritme pendakian bersama pakar-pakar ini. Misal, seperti istirahat yang tidak bisa terlalu sering atau lama dan minum yang dijatah.
Tapi saya rasakan team yang sangat solid, ada petugas yang bikin ketawa, ada petugas yang jatahin air, ada petugas timekeeper biar gak lama-lama istirahatnya, dll. Bahkan saya sempat mendengar mereka sudah menyusun timeframe waktu sampai tiba di tempat camp nanti. Wow!
Pos 2 – Pos 3 Pangguyangan Badak (1 jam) 1800 mdpl
Penasaran sama namanya, kirain beneran ada badak dan ternyata gak, lagian ini bukan habitatnya juga (fyi, habitat badak adalah hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar.) Skip skip jadi bahas badak.
Trek dari Pos 2 menuju Pos 3 Pangguyangan Badak melewati jalan yang lumayan landai namun memutar. Setelah beristirahat, makan siang bersama, dan menunaikan Zuhur berjamaah kami melanjutkan perjalanan. (Maaf ya Ujang, bukannya pelit gak mau pinjemin mukena, tapi kata mama cowok gak boleh pake, hihihi).
Pos 3 – Pos 4 Arban (1,5 jam) 2050 mdpl
Pendakian menuju Pos Arban termasuk perjalanan yang cukup melelahkan karena sebagian besar didominasi trek menanjak. Kalau bikin FTV, ini judulnya “jalan tak berujung”. Di sinilah sebenarnya tenaga fisik dan mental terkuras hampir habis. Di sinilah mulai terlihat pudar wajah-wajah yang sejak tadi ceria dan penuh canda. Di sinilah mulai terlihat kami sangat kelelahan.
Dan entah mengapa sang admin @infociremai berpesan untuk menjaga perkataan kami di pos ini. Ssstt! Jadi merinding.
Pos 4 – Pos 5 Tanjakan Asoy (45 menit) 2108 mdpl
Dengan kondisi yang sudah sangat lelah dan dahaga, rasanya mendengar nama tujuan pos nya saja sudah sangat melelahkan, ya Pos Tanjakan Asoy. Sudah terbayang pasti tanjakannya akan seperti apa.
Dengan langkah yang lebih perlahan dan berat dari sebelumnya, setapak demi setapak kami lewati. Dan atas kondisi tersebut, kami putuskan untuk segera mencari tempat untuk membangun tenda sebelum gelap, sehingga kami bisa menunaikan sholat dan menyiapkan makanan untuk makan malam.
Camping Time!
Tak lama kemudian, kami mendapati tempat yang cukup bagus untuk membangun 4 tenda. Setelah perut terisi, sesi curhat di mulai. Saya bertugas menjadi pendengar dan inilah awal mula mereka memanggil saya “emak”. (Ah kesannya tua banget!)
Mata sudah sangat kantuk, tetapi mereka mengingatkan untuk tidak tidur di bawah jam 10 malam, karena nanti akan terbangun jam 1 malam dan merasa sangat menggigil setelahnya. Terlebih sudah masuk musim kemarau, suhu malam di gunung akan lebih dingin dari biasanya. Baiklah, sambil dengerin yang lagi pada galau, emak pun mendengarkan dengan seksama.
Pos 5 – Pos 6 Pasanggrahan (1 jam) 2200 mdpl
Subuh tiba, kami bergegas bangun dan mempersiapkan segala sesuatu untuk saat-saat yang kami nantikan, apalagi kalau bukan MUNCAK.
Melihat kondisi badan, jarak tempuh yang masih cukup jauh ke puncak, dan juga karena ini bukan pendakian Ceremai pertama sebagian besar dari mereka (apalagi admin @backpackerlover yang bahkan rela jaga tenda dan gak ikut muncak. Salut!), sepertinya kami tidak memaksakan untuk mengejar sunrise di puncak. Setelah memasak dan sarapan pagi, kami bersiap menuju pos berikutnya.
Sejak pos terakhir kemarin, dominasi trek masih tanjakan-tanjakan liar, sehingga perlu ekstra waspada agar tidak salah melangkah.
elain trek yang terus menanjak ekstrim yang didominasi oleh bebatuan dan bekas lava, pasir kemarau dan panas terik mulai menguras tenaga kami. Sehingga wajib untuk menggunakan buff (penutup mulut/muka). Namun dengan keinginan untuk segera tiba di puncak tidak menyurutkan semangat untuk tetap bergerak.
Pada Pos Sanghyang Ropoh akan menjumpai percabangan “Simpang Apuy”, yaitu percabangan antara jalur Apuy dari Majalengka dan jalur Palutungan Kuningan. Menuju pos Sanghyang Ropoh kita akan memasuki Vegetasi Cantigi dan Edelweiss, tapi sayangnya sedang tidak musim berbunga, sehingga kita cukup puas disajikan hamparannya saja sepanjang mata memandang.
0 komentar:
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.