Minggu, 22 April 2018

Korban Santet Mengerikan Berubah Menjadi Ular

Misteri Dunia -Waktu itu usiaku masih menginjak remaja. Kala kudengar isyu-isyu ayahku yang masih gagah dan tampan itu ada main dengan Tante Tuti, janda yang tinggalnya tidak begitu jauh dari rumah kami. 
Sedang Tante Tuti sendiri bagi keluargaku adalah teramat baik. Pada waktu-waktu senggang Ia sering datang berkunjung ke rumah. Ngobrol dengan ibu, membelikan aku dan adik-adik oleh-oleh, sehingga kami sekeluarga telah menganggapnya selayaknya saudara sendiri. Ibu sendiri sering cerita kisah-kisahnya di masa remaja bersama Tante Tuti.
Tentu saja isyu-isyu tentang hubungan ayahku dengan Tante Tuti tidak kami tanggapi apa lagi untuk dipercayai. Kenyataannya ayahku sendiri terlihat begitu sayang kepada kami. Jadi mungkin saja orang salah mengartikan tentang ayah dan Tante Tuti.
Suatu ketika ayahku dipindah tugas ke kota Pati oleh perusahaannya. Tentunya ayah mendapatkan rumah dinas. Tapi kami sekeluarga tetap tinggal di Semarang. Dan bila libur ayah selalu pulang dengan membawa oleh-oleh Jenang Kudus. Senang sekali kami.
Waktu itu kehidupan kami memang tergolong berkecukupan. Dari peninggalan kakek kami mempunyai beberapa empang dan sawah yang dikelola oleh orang upahan.
Yang aku herankan sejak ayahku pindah tugas isyu tentang hubungan ayah dengan Tante Tuti semakin santer, hal itu diucapkan oleh bibiku sendiri.
“Buktinya sejak ayahmu pindah tugas si Tuti itu tidak pernah bermain kemari. Jangan-jangan dia juga ada di kota tempat ayahmu tugas.”
Ibuku saat itu masih juga belum percaya oleh ucapan Bik Nani, yang adik sepupunya itu. Walau begitu ada sedikit kesangsian diriku pada pendirian ibu.
Suatu ketika, saat tengah malam waktu bulan purnama, aku keluar dari kamarku. Tujuanku untuk buang air kecil ke WC. Kamarku terletak berseberangan degan ruang tengah hingga untuk ke WC harus melewati kamar ibu.
Saat aku melangkah menuju ruang dapur. Aku mendengar suara sentakan pintu yang terbuka dengan keras. Merasa tak tahan untuk buang air kecil, suara itu tidak kuhiraukan. Tapi saat aku di WC aku mendengar lolongan anjing milik tetangga. Dengan perasaan berdebaraku segera keluar dari kamar kecil.Mulanya niatku ingin segera kembali ke kamarku tapi suara-suara aneh dari ruang tamu membuatku penasaran. Kuberanikan diri untuk mengetahui, ada apa gerangan di ruang tamu itu.
Sesampai di ruang tamu betapa terkejutnya aku saat melihat suatu pemandangan yang sangat janggal. Aku melihat ibuku merangkak, mulutnya mendesis desis persis ular yang sedang berjalan.
“Ibu. . .Ibu. .i” pekikku, namun ibuku seperti tak mendengar panggilanku. Ia terus meliuk-liuk keluar ruangan. Anehnya siapa gerangan yang membuka pintu rumah? Seingatku aku tadi yang mengunci pintu.
Dengan rasa bersalah dan was-was aku mengikuti ibu keluar halaman rumah. Suasana di luar sangat sunyi. Saat itu aku merasakan angin bertiup dengan derasnya, hingga dingin malam itu menusuk sum-sumku. Aku berusaha mencegah ibuku yang ingin mengelosor ke sebuah tempat perkebunan kosong.
Untuk mencegah ibuku aku memegangi kakinya, tapi aku seperti dikibaskan oleh kakinya, sehingga aku terpental. Aku ingin berteriak. Anehnya mulutku terasa kelu. Sendi-sendi tulangku terasa lemas pula. Aku hanya bisa memandang ibu yang terus meliuk-liuk mengelosor menuju halaman kosong penuh pepohonan.
Tidak tahan melihat pemandangan yang membuat kepalaku nyut-nyutan itu, akhirnya aku tidak sadarkan diri, dan saat aku terbangun seberkas sinar memasuki kamarku. Aneh, aku sudah ada di kamarku sendiri Mimpikah aku?
Dengan perasaan aneh dan tubuh masih lemas kukuatkan untuk bangkit guna memastikan apa yang telah terjadi.
Dengan langkah terseok aku menuju ruang tengah, yang juga digunakan untuk sarapan pagi. Tapi ruang itu terlihat kosong. Debaran hatiku bertambah keras. Aku melirik jam dinding yang berdenting. Rupanya hari sudah siang. Pantas saja rumah sepi.
Untuk memastikan lagi aku kembali melangkah terseok menuju kamar ibuku. Apa yang teijadi dengan ibuku tersayang? Anehnya saat tiba di muka kamar ibuku, aku hanya berdiri diam mematung. Tak ada keberanian untuk mengetuk pintu kamar ibu, tidak seperti biasanya.
“Mirnah!” Suara panggilan membuat detak jantungku berdegup keras dan saat kulihat aku semakin heran karena ibuku tidak kurang suatu apa-apa. Buktinya dia sehat dan habis mandi.
“Mandi sana. . .setelah itu segera sarapan!”
Ibuku yang masih membalutkan tubuhnya dengan handuk terus masuk ke kamarnya. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.Pada malam setelah kejadian aneh itu aku tidak bisa tidur pulas. Pikiranku masih teringat peristiwa malam sebelumnya, masih penasanan, apa lagi beberapa teman yang kuceritakan tentang kejadian itu berpendapat lain-lain.
Hingga jam, berdetak dua belas kali, sayup-sayup terdengar lolongan anjing di kejauhan, perasaanku jadi merinding. Saat itu kuberanikan diri untuk menengok keadaan rumah. Aku keluar kamar dengan hati-hati dan berdebar-debar.
Setelah kuteliti keadan rumah masih sepi-sepi saja, kulihat di ruang tengah adik-adik pulas mendengkur di muka pesawat TV. Kutengok kamar ibu, tertutup dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga aku kembali melangkah ke kamarku.
Tapi baru saja aku hendak merebahkan diriku di ranjang terdengar suatu sentakan pintu. Aku terkejut dan dadaku berdebar keras.
Aku termangu duduk di tepi nanjang, mendengarkan apa lagi yang bakalan terjadi. Tak lama kemudian terdengar suara adikku menjerit. Aku tersentak dan berlari keluar kamar menuju ruang tengah. Dan astaga! Apa gerangan yang kulihat? Ibuku menggigit kaki adikku.
“Bu.. .lepaskan.. .lepaskan...!?”
Aku segera menyingkirkan tubuh ibuku, lalu menarik lengan adikku yang menangis kesakitan. Ibuku mendengus dengus mendekati adikku yang satunya lagi, aku berlari mencegah.
“Jangan, sadarlah. . .sadarlah... kami anak-anak ibu!” pekikku.
Wajah ibu menatapku sejenak. Lalu Ia kembali mendesis mengelosor seperti ular, anehnya bagaimana ibu bisa melakukan itu. Ibu terus keluar rumah dan yang membuatku tambah bingung. Pintu depan telah terbuka seperti kejadian malam yang penuh misteri itu.
“Ibu kenapa, Mbak?”Adiku merengek dan menangis. Aku sendiri yang kebingungan tidak dapat menjawab terus saja mengikuti ke mana arah ibuku mengelosor seperti seekor ular itu.
Ibuku terus saja merayap ke luar halaman. Suara lolongan anjing semakin santer terdengar dan angin malam berhembus deras. Mendengar suara panggilan adikku yang ketakutan, membuatku urung untuk terus mengikuti ibuku.
Karena merasa was-was kami baru bisa tidur saat suara azan Subuh mulai terdengar, itupun tidurnya dalam satu ranjang, hingga sayup-sayup aku mendengar ketukan pintu rumah. Dari pelan hingga berbunyi sangat keras.
Kesadaranku masih belum pulih benar karena kantuk masih begitu kuat menguasai tubuhku, sehingga aku agak sempoyongan keluar kamar, melangkah menuju ruang tamu.
Rupanya, di luar rumah telah ramai tetangga-tetangga berkerumun di teras. Kubuka pintu rumah.
“Jam segini masih tidur. Lihat ibumu pingsan, tuh!” ujar Bik Nani separo marah kepadaku.
“Saya menemukan ibumu di kebun muka itu,” tunjuk Pak Kudri, tetangga kami.
Aku masih diam ketika ibuku dibopong ke dalam rumah. Bik Nani, menyuruh meletakkan ibuku di kamarnya.
“Lho, kemarin itu saya juga memergoki ibumu berjalan perlahan dari kebun itu juga!” cetus Pak Kurdi.
“Pasti ada yang tidak beres dengan ibumu, Win!”
Sebenarnya waktu itu aku ingin bercerita apa adanya perihal ibu. Tapi banyaknya orang membuat aku urung untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi.
Hari itu Bibi Nani yang memasakkan kami. Aku sebagai gadis yang baru menginjak remaja belum begitu bisa memasak. Jadi aku cuma membantu Bibi Nani. Sambil memasak bibi berujar,
“Bibi curiga ibumu diguna-guna, hingga linglung begitu, masak tidur kok di kebun kosong, bagaimana kalau sampai di gigit ular?”
“bi... justru ibu merangkak seperti ular. Malam-malam ke luar rumah..”
“Ladalah...! Ternyata kecurigaanku benar.. cepat kamu panggil Mbok Nah, untuk meneruskan memasak ini. Kita mesti cari dukun sakti untuk menyembuhkan ibumu!”
Setelah Mbok Nah kupanggil, untuk menggantikan masak aku dan bibi Nani berkemas dengan tergesa-gesa untuk pergi ke tempat dukun sakti yang dikatakan Mbok Nah.
Dengan kendaraan umum kami turun di suatu tempat lalu memasuki suatu desa, melewati beberapa pematang sawah dan melintas bukit yang tidak terlalu tinggi. Kami menemukan sebuah rumah gubuk. Seorang lelaki setengah baya menyilahkan kami masuk.
Lalu kami duduk menunggu di ruang tamu. Beberapa lama kemudian bibi dipersilahkan masuk menemul Mbah dukun, sementara aku hanya menunggu di ruang tamu.
Pulang dari rumah dukun itu, Bibi Nani membawa bungkusan garam, yang katanya telah dijampi-jampi.
“Kata Mbah Dukun ibumu terkena Santet Ular Weleng, untuk menyembuhkan ibumu, Mbah Dukun harus mengadakan tirakat dahulu, ini garam ditaburkan sepanjang halaman rumah agar ibumu tidak keluar rumah bila malam hari.
Begitu penjelasan bibi Nani. Kami melakukan apa yang diperintahkan Mbah Dukun sesampainya di rumah.
Pada malam harinya, tetap saja terasa mencekam. Walau Ninuk, sepupuku menemani kami, sedang bibi Nani sendiri tetap tidur di rumahnya, yang jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah kami.
Kedua adikku telah tidur pulas di kamarku. Saat jam menunjukan pukul Sebelas malam, bersamaan itu terdengar sayup-sayup sebuah lolongan anjing panjang dan suara sentakan pintu yang mengejutkanku.
Perlahan aku bangkit dari pembaringan. Kubangunkan sepupuku Ninuk yang telah tidur mendengkur.
“Ada apa, Mbak Win?” tanya Ninuk seraya mengucek matanya.
“Temani aku periksa rumah!” kataku. Tanpa merasa curiga Ninuk mengikutiku.
Dengan Iangkah hati-hati aku menuju kamar ibuku. Kenyataannya benar saja. Pintu kamar ibuku telah terbuka. Kutengok kosong. Kami segera menuju ruang muka, pintu ruang muka juga telah terbuka.
Kulihat di halaman ibuku mengeloyor merangkak seperti ular, ia mendengus-dengus ingin keluar halaman, namun seperti ada sesuatu kekuatan yang membuat ibu tidak bisa keluar dan halaman rumah.
Ibuku terus mendengus-dengus mencari jalan keluar dari halaman rumah, namun sepanjang halaman memutar sudah kutaburi garam, hingga ibuku tidak bisa lagi keluar menuju kebun kosong itu.
Kejadian seperti itu ingin kuceritakan kepada ayahku lewat telepon tapi bibi melarangku.
“Tidak usah, ayahmu kini bersama Tante Tuti. Pasti ayahmu tidak akan perduli!” kata bibi Nani.
“Lantas apa yang harus kita kerjakan, Bi?”
“Sabarlah! Mbah Dukun sedang mengusahakan pengobatannya, sebab Santet Ular Weleng itu sangat berbahaya. Salah-salah nyawa ibumu ikut melayang bila dipaksakan diobati!” ujar Bibi.
Aku hanya bisa menunggu datangnya waktu Mbah Dukun datang untuk mengobati ibu. Waktu yang tiga hari ternyata sangat menegangkan. Di hari ketiga, ibuku tidak keluar halaman tapi hanya merangkak mendengus-dengus di dalam rumah.
Aku hampir kecolongan. Sewaktu ke kamar kecil ibuku masuk kamar dan menyerang kedua adikku yang berteriak ketakutan.
“Ibu jangan Iakukan...kami anak anak ibu” pintaku nyaris menangis.
Ibuku cuma mendengus memandangku lalu keluar kamar yang membuatku bergidik, wajah ibuku bersisik matanya putih semua. Kamar segera aku kunci.
Siang hari setelah malam kejadian itu baru Mbah Dukun datang. Ia mendekati ibu yang tidur melingkar tubuhnya persis ular tidur. Lalu aku melihat Mbah Dukun komat-kamit membaca doa. Kemudian tangannya memegang kening ibu.
Ibuku tersentak dari tidurnya, kemudian mendengus-dengus. Dua orang tetangga membantu memegangi ibu yang ingin berontak. Lama juga aku menunggu Mbah Dukun mengobati ibu yang juga disaksikan Bibi, Om dan tetangga Iainnya.
Sorenya kami disuruh Mbah Dukun mengadakan selamatan. Sementara itu ibuku tertidur dikamarnya. Mbah Dukun sendiri tidak pulang. Ia menunggu di rumah, dan menyuruh menyiram garam di setiap sudut rumah dan kamar-kamar.
Hingga tengah malam, aku mendengar suara lolongan anjing di kejauhan. Aku sendiri di kamar bersama adikku dan sepupuku, sedang Bibi menemani ibu di kamarnya. Mbah dukun ada di ruang depan. Aku mendengar seperti ada suara orang marah kemudian terdengar pintu depan terbuka dengan suara keras. Aku merasakan ketakutan.
Paginya aku dibangunkan bibiku. Mbah Dukun sudah pulang. Kulihat keadaan ibuku baik-baik saja. Ia sedang duduk menikmati teh hangat dan pisang goreng. Tatkala menatapku ibu tersenyum. Itu yang membuatku lega.
Seminggu kemudian ayahku baru pulang. Ia meminta maaf kepada kami karena selama ini telah melupakannya. Tentu saja ibu memaafkan ayah, yang katanya juga diguna-gunai Tante Tuti.
Dan ibu tidak pernah dendam pada Tante Tuti, yang akhirnya pergi meninggalkan rumahnya. Beberapa bulan kemudian kami mendengar kabar kematiannya. Sebagai seorang sahabat, ibu masih sempat melawatnya.

SHARE THIS

0 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.