Misteri Dunia-Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn.
Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Sisi Gelap Pada Masa Lalu Yang Menyeramkan
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, kadang para tahanan yang telah dinyatakan bersalah dihukum gantung di depan gedung ini. Pada zaman penjajahan Belanda, gedung yang juga bernama Museum Sejarah Jakarta ini adalah balai kota Batavia yang merupakan pusat aktivitas rakyat pada abad ke 17-19.
Tiap sore rakyat berkumpul mengambil air bersih dari satu-satunya mata air di halaman depan balai kota, ada pula trem yang berjalan dengan rel di depan balai kota.
Selain aktivitas tersebut, balai kota juga memiliki fungsi lain, yakni sebagai tempat pelaksanaan hukuman mati dan pembantaian massal. Saksi bisu dari pemerintahan yang brutal.
Tahun 1740, Gubernur Batavia saat itu (Adriaan Valckenier) memerintahkan untuk membantai orang Tionghoa di depan balai kota.
Ribuan orang Tionghoa diikat, duduk bersimpuh di depan balai kota, kemudian dari jendela balai kota, gubernur itu memberi kode untuk melakukan eksekusi terhadap orang Tionghoa itu.
Pembantaian yang dikenal dengan nama ‘Geger Pacinan‘ itu, pada masa lalu disebabkan oleh isu ekonomi dan politik yang berkembang di Batavia. (baca juga: Bahas Tuntas: “Pembantaian Glodok” Tahun 1740 (Tragedi Angke / Geger Pacinan))
Kejadian itu mencoreng pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dan si gubernur ketika pulang ke Belanda, diadili dan mati di penjara.
Selain pembantaian tersebut, Museum Sejarah Jakarta juga menjadi saksi bisu dari penderitaan tawanan di penjara bawah tanah untuk wanita dan laki-laki.Ketika air laut pasang, penjara akan terisi air laut, merendam tubuh para tawanan dan membuat kondisi tawanan sungguh menyedihkan.
Pejuang Indonesia yang sempat ditahan di penjara tersebut di antaranya ada Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien.
Ada pula kisah Pieter Erberveld, pemberontak yang dihukum mati di halaman selatan Benteng Batavia dengan cara yang kejam.
Kedua tangan dan kaki Erberveld serta rekan-rekannya, diikat pada tali tambang. Keempat ujung tali tambang kemudian diikatkan pada kuda-kuda pilihan yang sangat kuat.Kemudian, kuda-kuda tersebut dilecut hingga berlari ke arah-arah yang berlawanan. Badan Elberverd dan rekan-rekannya pun terkoyak.
Peristiwa tersebut tercatat di monumen pecah kulit yang berada di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta.
Sementara itu, untuk para kriminal itu di dakwa karena membunuh atau merampok. Mereka semua dieksekusi di depan umum dengan cara hukuman gantung di depan gedung yang kini telah menjadi Musium Nasional ini.
0 komentar:
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.